Selasa, 19 Oktober 2010

cerpen ku

uAku Dan Kakakku
Oleh : Annistya Ranu Pranata
Namaku Nezya. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Fiky. Aku dan Fiky adalah kakak beradik yang tak pernah terpisahkan dan terlihat selalu kompak. Kami selalu terlihat bersama-sama kemana pun kami pergi. Ulang tahunku dan Fiky pun berdekatan. Aku lahir pada 24 April 1996, sedangkan Fiky pada 30 April 1993. Bahkan kami seperti anak kembar. Semua yang kami punya dan fikirkan pasti sama. Contohnya kami mempunyai kaos, tas, hobi, dan kegemaran yang sama.

Aku dan Fiky sangat gemar bermain bulutangkis. Fiky adalah satu-satunya orang yang sangat mendukung hobiku ini. Bahkan untuk kado ulang tahunku kemarin, Fiky memberiku sepatu khusus bulutangkis. Aku suka sekali dengan sepatu pemberian Fiky karena desain dan modelnya yang sangat bagus. Sepatu pemberian Fiky juga selalu aku pakai ketika aku melakukan pertandingan-pertandingan.
Enam hari sesudah ulang tahunku adalah ulang tahun Fiky. Aku berniat memberinya sebuah kejutan kecil. Ketika hari yang Aku dan Fiky tiba, aku mengendap-ngendap masuk ke kamar Fiky pada tengah malam bagai tikus hendak mengambil keju di dalam kulkuas. Sambil segayung air yang dicampuri dengan tepung yang sebelumnua aku persiapkan, aku berjalan sangat pelan mendekati Fiky yang sedang tertidur. Ku berhittung di dalam hati satu……….dua……….tiga……….bbbyyyyyyyuuuuuuuurrrrrrrr……………….. badan Fiky penuh dengan warna putih persis adonan roti yang tidak merata. Fiky langsung berdiri dan memarahiku dengan gaya bercandanya.
“ Selamat ulang tahun, kak,”kataku.
“Terimakasih, adikku,”ucap Fiky.
Fiky tersenyum kepadaku sambil berjalan ke arahku lalu memelukku erat.
Paginya, aku memberinya kado yang telah ku persiapkan sebelumnya yaitu bola sepak dan kaos tim bola kesukaannya. Alasanku memberikan hadiah itu, karena akhir-akhir ini Fiky tertarik pada olahraga ini. Aku sangat mendukung hobi barunya ini. Hingga suatu ketika Fiky bergabung dengan club sepak bola di desa dan hingga nama Fiky tertulis sebagai anggota di club kabupaten. Fiky sangat senang akan hal ini.
Fiky mulai meninggalkan hobi bulutangkisnya dan focus pada sepak bola, dunia yang baru di gelutinya dan sukses pada tenggang waktu yang singkat. Setiap Fiky ada pertandingan, aku selalu ikut dengannya dengan memberi semangat dan membawa sebotol minuman yang akan ku beri saat dia istirahat nanti.
Setelah empat puluh lima menit pertandingan berlangsung istirahat pun tiba. Aku bergegas lari kea rah Fiky dan memberikan sebotol minuman yang ku bawa untuknya. Fiky pun mengambilnya dan meminumnya. “Capek?” tanyaku. “Lumayan, makasih ya dik dah nungguin kakaq. “ kata Fiky. Aku hanya melihatnya sambil tersenyum. Setelah pertandingan selesai aku dan Fiky bergegas pulang ke rumah. Kami menuju kamar masing – masing.
Setelah kurang lebih 15 menit, aku keluar dari kamar. Aku pergi menengok kamar Fiky dan ku lihat dia telah tertidur. Mungkin dia kelelahan, ujarku dalam hati. Aku tak pernah melihat Fiky tidur selelap itu.
Pada pertengahan Juli, ayah kami pulang dari Makasar tempat ayah bekerja dengan membawa segudang oleh – oleh. Aku dibelikan kaos oleh ayah, sedangkan Fiky dibelikan HP baru yang sangat bagus, canggih dan tren saat itu. Betapa irinya aku melihat Fiky . aku marah pada Fiky dan memusuhinya kala itu. Dan sejak kejadian itu, aku dan Fiky selalu bertengkar. Hal itu yang hanya sepele kami besar – besarkan sehingga permusuhan kami tidak ada habisnya. Sesekali kami baikan jika ada acara keluarga dan semua keluarga di harapkan datang. Setelah itu kami uring – uringan lagi seperti biasanya.
Suatu ketika, aku ada tambahan jam pelajaran sore yang mewajibkan seluruh siswa hadir. Sedangkan Fiky ada pertandingan bola. Di rumah hanya ada satu motor karena semua telah terpakai kami tidak mungkin berangkat bersamaan karena jalur tujuan kami berlawanan arah.
Aku dan Fiky tidak menyadari jika saat itu jadwal kami tempur sedangkan hanya ada satu kendaraan di rumah. Jam menunjukkan pukul 02.30 sore. Sedangkan aku masuk pukul 03.00 sore. Tak sadar kami berjalan dari arah yang berbeda menuju meja yang diatasnya terdapat kunci sepeda motor. Kami tiba – tiba memegang kunci motor itu secara bersamaan. Aku terkejut.
“Hey, motornya hendak ku pakai,” kataku.
“Aku juga hendak memakainya,” ujar Fiky
“Hari ini aku ada tambahan jam pelajaran tahu?!
“Hari ini aku ada pertandingan yang gak bisa ditunda.!”
“Tambahan pelajaranku juga tidak bisa di tunda.”
“Kamu masih ada lain waktu kan sedanghkan aku hanya sekali dalam seumur
hidup!”
“Tapi ini penting untuk kelulusanku.”
Dan kami pun adu mulut yang akhirnya aku tidak berangkat mengikuti tambahan jam pelajaran dan Fiky pun tidak jadi ikut pertandingan. Aku mencapai puncak kemarahanku kepada Fiky dan Fiky pun sebaliknya. Hingga aku dan Fiky saling mengeluarkan kata – kata kasar yang menyengat hati. Dan itu yang kami lakukan setiap hari.
Setelah sekian lama, permusuhan kami berakhir beserta besarnya penyesalanku. Aku sangat merasa bersalah kepada Fiky. Dan rasa bersalah itu selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. “Mengapa jadi begini?” ujarku dalam hati. Aku tak menyangka akan secepat ini.
Sampai saat ini aku membenci bulan ‘Agustus’. Bulan Agustus adalah bulan dimana aku kehilangan Fiky untuk selama – lamanya. Fiky meninggal akibat kecelakaan bermotor sewaktu dia hendak pergi ke sekolah. Saat itu aku berangkat terlebih dahulu meninggalkan Fiky dan lebih dahulu sampai di sekolah. Tiba – tiab aku dapat kabar jika Fiky kecelakaan hingga tak sadarkan diri. Panic dan gelisah menemaniku kala itu. Sepuluh menit kemudian aku mendapat kabar bahwa Fiky telah siyuman. Aku lega mendengar kabar itu dan mengikuti apel yang setiap pagi dilakukan disekolahku. Tak berapa lama kemudian, setelah aku selesai apel, aku menerima sms yang berisi “Dik pulanglah, kakakmu telah tiada:. Setelah membaca sms itu, tubuhku terasa bergetar dan aku tak kuasa menahan air mata kesedihanku. Aku tak percaya. Bahkan sangat tak percaya. Tiba – tiba ada keluargaku yang menjemputku untuk ijin dan meninggalkan sekolah. Di jalan di sepanjang perjalanan aku hanya bias melamun dan melamun. Setiap detik aku bertanya. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Fiky?”
Tak sadar kakiku telah menginjak halaman rumah. Pemandangan yang tak biasa ku lihat sebelumnya. Ada bendera putih dan tenda di depan rumah. Aku juga melihat banyak teman – teman Fiky yang datang ke rumah dan hanya menangis tak mengeluarkan satu patah kata pun untukku. Aku masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Ku melihat ada orang yang tertidur dan dikelilingi oleh orang – orang yang memanjatkan doa. Aku bertanya, “Siapa itu?” tak ada satupun yang menjawabku, mereka hanya terdiam dan menangis. Tiab – tiba ayahku mendekat ke arahku dan membawaku mendekat orang yang tertidur itu. Ayah memegangku seakan atakut aku terjatuh. Ayah lantas membuka kain yang menutupi orang tidur itu.
Aku tak percaya dan benar – benar sangat terpukul. Benar – benar Fiky yang tertidur. Aku menangis sambil mengusap wajah Fiky dan melihatnya terkagum – kagum. Ku usap wajah Fiky yang tertidur dengan lelap. Tubuhku melemas dan aku terjatuh. “Kenapa harus Fiky?” jeritku keras
Sehabis Dhuhur, Fiky dimakamkan di pemakaman komplek dekat rumah. Banyak orang yang mengantar kepergian Fiky ke rumah terbarunya, aku ikut mengantarnya. Bahkan orang yang mengantar Fiky seperti orang yang hendak menonton pertandingan bola di stadion. Fiky mulai di masukkan ke rumah barunya itu dan tak terlihat lagi sampai saat ini dan seterusnya.
Dan untuk hari ini dan seterusnya, aku hanya ingin meminta maaf pada Fiky. Bahkan ku ingin Fiky tahu betapa aku sangat menyayanginya selama ini. Aku selalu menengok Fiky setiap minggunya sambil berharap Fiky selalu dating ke mimpiku dan selalu menemaniku. Walau hany dalam mimpi aku juga ingin bercerita apapun yang ku alami kepadanya seperti dulu waktu aku sangat akrab dengan Fiky. Selamat tinggal Fiky, aku sangat menyayangimu. Selamat jalan kakakku. Tidurlah yang lelap dalam mimpi indahmu. Kau akan selalu hidup dalam kehidupanku ……



THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar